Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam,
berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa
menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang
merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan
Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan
kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
- Seni Bangunan
1. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam
mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya
sebelumnya. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat
(bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai
bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan
tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri
bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam
Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap
dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok
dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni
zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu)
dan ada yang berbentuk candi.
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara
pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara
pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman
purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus
menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan
upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan
seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam
dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh
sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi
akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam
terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam
raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang
berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.
2. Bangunan Masjid merupakan salah satu wujud budaya
Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid
memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya.
Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya
Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat
pada:
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama
di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat)
dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus
bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi
di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga,
dan lima.
3. Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid
yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan,
yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat
seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara
masjid Kudus (Jawa Tengah).
Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak
bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan
masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi
mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan
istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di
bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di
masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga
menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan
pada masjid di Timur Tengah.
- Seni Rupa
Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam pada
seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu
kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah,
makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan
yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur).
Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di
Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk
menghias bangunan makam atau masjid.
- Aksara
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal
aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu
tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab
Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan
Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
- Seni Sastra
Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di
daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam
karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir
Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu, pengaruh
budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya,
Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji
Semirang.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan
dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang
lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang
ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis
dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis
dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan
menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
- Sistem Pemerintahan
Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam
bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan
kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah
berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan
besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan
perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi
dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan
(susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan
dengan nama Islam (Arab). Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih
kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan,
atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi
baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk
membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka
urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.
Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan
Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada
masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam
permufakatan hukum adat.
Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur
dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh
adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika
meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama
sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang
pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali.
Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di
masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan
Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga.
Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi
lokal tetap digunakan.
Sistem Kalender
Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam
sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau
Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram
pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa
telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa,
nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir,
Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran,
seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
Sumber :
Hamka. 1997. Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional
Mayeli, Salahuddin. Akulturasi antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia