Sabtu, 21 Oktober 2017

Akulturasi Budaya Islam dan Pra-Islam

Akulturasi Budaya Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia

Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:

-   Seni Bangunan
1. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya sebelumnya. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.

2. Bangunan Masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada:
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.

3. Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).

Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.

-   Seni Rupa
Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid.

-   Aksara
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.

-   Seni Sastra
Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu, pengaruh budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji Semirang.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).

-   Sistem Pemerintahan
Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab). Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya. Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.

Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.

Sistem Kalender
Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.




Sumber :
Hamka. 1997. Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional
Mayeli, Salahuddin. Akulturasi antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia

Sabtu, 11 Februari 2017

Roman Down


Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat dan Timur

Kekaisaran Romawi Barat, Civis Romanus Sum (artinya: Saya Orang Romawi) adalah kalimat yang dipakai oleh Orang Romawi dan menunjukkan kebanggaan orang-orang Romawi pada imperiumnya di masa puncak kejayaannya. Kegemilangan peradaban Romawi menjadikan Eropa sebagai cahaya dunia masa lampau. Kekaisaran Imperium Roma telah menguasai daratan Eropa barat dan Timur Dekat selama hampir 1000 tahun. Ini tidak lepas dari kuatnya Pax Romana dan kontrol daerah yang kuat, tetapi memasuki tahun 180 M, Pax Romana yang telah memperkuat Imperium Roma, mulai mengalami kemunduran dengan ditandai meninggalnya Kaisar Marcus Aurelius. Penggantinya yang tidak lain adalah anaknya yang bernama Commodus (180-193 M) tidak mampu mengendalikan pemerintahan dengan baik. Hal ini dikarenakan Commodus tidak mempunyai bakat apapun selain pacuan kereta, perang, dan perkelahian gladiator. Kecintaannya pada olahraga membuat prestise dan kewibawaan pemerintahan menurun drastis, disamping itu karena dia tidak begitu mempedulikan keselamatan pribadi membuat Commodus mati karena terbunuh.

Seperti juga Commodus, raja-raja berkuasa selanjutnya juga merupakan kaisar-kaisar yang lemah. Sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul suatu zaman yang disebut dengan zaman anarki militer (235-284 M). Zaman ini merupakan zaman yang penuh dengan konflik intern antara faksi-faksi militer sehingga menyebabkan stabilitas dan efisien pemerintahan hilang sehingga tidak heran bila dalam kurun waktu setengah abad terjadi hampir dua lusin pergantian kaisar dan yang mencengangkan adalah hanya satu kaisar yang meninggal secara wajar. Sedangkan lainnya mati dalam peperangan melawan sekutu yang memberontak atau dibunuh oleh tentaranya sendiri. Anarki militer seperti yang dijelaskan di atas akan menjadikan keruntuhan total yang singkat jika tidak ada seorang kaisar kuat yang mampu menghentikannya. Kaisar kuat tersebut adalah Diacletianus (284-305 M) seorang veteran tentara. Ia mulai melakukan berbagai perubahan penting yang salah satu diantaranya adalah mensentralisasikan kekuasaan ke pusat yang sistemnya mirip prinsip oriental tradisional. Sistem pemerintah model tersebut juga dipraktikan oleh pengganti-penggantinya seperti Galerius (305-311 M) dan Constantine (306-337 M). Tetapi pada masa itu terjadi berbagai kebingungan karena kacaunya berbagai pertimbangan politik.

Diacletianus dan penerusnya tidak menghormati sistem republik yang dipraktekan oleh Augustus dan kaisar-kaisar sebelumnya. Mereka menghapuskan segala hak otonomi daerah dan memberikan kekuasaan absolut kepada gubernur-gubernur terhadap urusan-urusan lokal. Diocletanius juga membuat suatu badan yang bernama keuskupan yang menjadi lembaga perantara antara provinsi dengan pusat. Ia juga membagi kekaisaran menjadi 2 yaitu barat dan timur yang masing-masing mencakup beberapa keuskupan. Diocletianus memindahkan ibukota kekaisaran belahan barat dari Roma ke Milan yang terletak di Italia Utara. Dia memilih Milan karena kota tersebut jauh dari intrik-intrik politik yang saling menjatuhkan seperti di Roma. Wilayah ini juga dekat perbatasan dimana ia berusaha untuk menumpas kaum barbar yang ada disana. Kota Roma peranannya menjadi berkurang karena banyak penduduknya yang pindah dan banyak juga gedung yang rusak karena tidak terawat. Sedangkan Constantine menetapkan ibukota kekaisaran Romawi Timur di Byzantium yang kemudian ia rubah menjadi Konstantinopel.

Pembagian ini memiliki arti yang cukup penting karena pembagian ini didasarkan pada persamaan bahasa. Di Romawi Barat penduduknya menggunakan bahasa latin sedangkan di Timur menggunakan bahasa Yunani. Sehingga tidak heran bila pembagian ini mulai menggerogoti persatuan kekaisaran Romawi. Hal inilah yang nantinya menjadi jurang pemisah antara peradaban Eropa Barat dan Selatan yang lebih condong ke Romawi, dan peradaban Greco Oriental yang tersebar di Rusia dan daerah-daerah Balkan. Untuk memperkuat pasukannya Diacletionus tidak mengizinkan para pemalas dan pembunuh masuk dalam legiun ketentaraan sehingga ia lebih suka menggunakan tentara bayaran yang terdiri dari orang asing yaitu orang-orang Jerman, jadi ia menghapuskan kebiasaan merekrut warga negara untuk menjadi tentara. Untuk menunjukkan kewibawaan raja, Diacletionus menggunakan konsep Persia yaitu mendudukkan raja sebagai seorang dewa, jubahnya yang dilapiasi emas mununjukkan wibawanya yang begitu tinggi dihadapan para dewa di bumi dan langit. Para pejabat juga memperoleh gelar-gelar yang agung seperti pejabat keuangan kini bergelar Pangeran yang mendapat anugerah suci dan dewan negara menjadi Dewan suci.

Diocletionus juga mencoba menyelamatkan perekonomian negara tetapi hal tersebut sia-sia. Nilai mata uang menurun drastis karena kaisar-kaisar pendahulunya menurunkan nilai pembuatan uang logam yakni mengurangi kuantitas logam mulia pada koin-koin itu. Dalam waktu singkat ia berusaha menstabilkan nilai logam dan kemudian kembali kepada praktek pengurangan nilai seperti sebelumnya, tetapi hasilnya sangat lain dari harapan karena nilai-nilai mata uang romawi merosot tajam dan harga barang-barang naik secara bersamaan usaha Diocletionus untuk mengendalikan inflasi dengan melakukan kontrol-kontrolnya atas harga yang menimbulkan munculnya pasar gelap dan kerusuhan-kerusuhan di kalangan para penjual dan pembeli.

Diocletianus berusaha untuk mengatasi keadaan krisis finansial dengan menetapkan pajak yang tinggi kepada penduduk. Pajak-pajak tersebut ditarik dewan kota praja dan anggota curia. Apabila pajak tersebut tidak memenuhi ketentuan maka dewan kota praja dan anggota curia harus menambahkannya. Sehingga memicu bencana besar yang disebut Katastrofic, dimana banyak anggota curia dan dewan kota praja yang mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah. Dalam mengatasi masalah ini para kaisar penerus Diocletionus memaksa para curia dan dewan kota praja agar tetap menduduki jabatannya dan menetapkan bahwa jabatan tersebut turun temurun sehingga pada waktu itu jabatan curia yang sebelumnya dianggap sebagai kedudukan terhormat kini menjadi beban yang amat berat.

Diocletianus dan para penerusnya melakukan hal serupa pada kelompok sosial lain yang akibatnya juga buruk misalnya kaum petani yang dipaksa untuk menanam gandum sebagai bahan pokok pembuatan roti yang nantinya akan disuplai ke pemerintah untuk dibagikan secara cuma-cuma di Roma seperti kasus sebelumnya, pemerintah juga menerapkan para staf kerajaan mereka ditetapkan secara turun temurun. Diocletianus dan para penerusnya cenderung hendak menegakkan suatu sistem kasta. seseorang boleh melakukan pekerjaan yang sama sepanjang hidupnya, anaknya harus meneruskan pekerjaan yang sama, hingga generasi demi generasi selanjutnya. Disamping hal-hal diatas, ketertarikan tentara pada uang juga memicu runtuhnya Imperium Roma. Ini dikarenakan para tentara telah mengabaikan tugasnya untuk menjaga kaisar dan lebih mementingkan kebutuhan uang beserta materil.

Keadaan ini menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik internal yang mulai menggerogoti kestabilan pemerintahan dan dalam keadaan serba kacau inilah orang-orang Barbar (dalam pandangan masyarakat Romawi dan Yunani), yang sudah sejak lama menghuni batas-batas Romawi di utara Eropa yang terdiri dari suku bangsa Goth, Vandal, Hunt, Ostrogath, Visigoth, Slavia, dan Gaul mengetahui keadaan Roma yang sudah lemah dan akhirnya mereka menyerbu masuk ke jantung kekaisaran Romawi. Kaisar Romawi terakhir, Romulus Augustus, diturunkan oleh pemimpin suku-suku barbar tersebut yang bernama Odoacer pada 476 M. Akhirnya setelah ditaklukkan, segala lambang kejayaan Romawi di Eropa, hancur. Pusat pemerintahan yang indah dengan kolom-kolom yang megah, arena koloseum raksasa yang bisa menampung puluhan ribu penonton, dan perpustakaan-perpustakaan besar yang berisi pengetahuan-pengetahuan hebat sepanjang sejarah, hanya tinggal kenangan. Buku-buku karya filusuf dan pemikir paling jenius pun tidak luput dari pemusnahan-dibakar menjadi abu.

Kekaisaran Romawi Timur adalah istilah yang digunakan oleh sejarawan modern untuk menyebut bagian Kekaisaran Romawi yang didominasi penutur bahasa Yunani dan berpusat di Konstantinopel pada masa Antikuitas Akhir dan Abad Pertengahan dari negaranya yang lebih awal pada masa Klasik. Negara ini disebut juga Kekaisaran Bizantium terutama dalam konteks Abad Pertengahan, sementara Romawi Timur biasanya digunakan dalam konteks terkait masa ketika Romawi masih dikelola dengan pusat politik timur dan barat yang terpisah. Penduduk dan negara-negara tetangganya menyebut kekaisaran ini sebagai Kekaisaran Romawi (bahasa Yunani: Βασιλεία Ῥωμαίων, Basileia Rhōmaiōn; bahasa Latin: Imperium Romanum) atau Romania (Ῥωμανία). Setelah Kekaisaran Romawi Barat mengalami perpecahan dan keruntuhan pada abad ke-5, bagian timurnya masih terus berkembang, bertahan hingga kira-kira seribu tahun lagi sampai akhirnya ditaklukan oleh Turki Utsmaniyah pada 1453. Selama sebagian besar masa keberadaannya, negara ini merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang paling berpengaruh di Eropa.

Pada tahun 285 M, Kaisar Diocletianus (berkuasa. 284–305) membagi pemerintahan Kekaisaran Romawi menjadi paruh timur dan barat. Pembagian ini didasarkan pada persamaan bahasa. Di Romawi Barat penduduknya menggunakan bahasa latin sedangkan di Timur menggunakan bahasa Yunani. Hal inilah yang nantinya menjadi jurang pemisah antara peradaban Eropa Barat dan Selatan yang lebih condong ke Romawi, dan peradaban Greco Oriental yang tersebar di Rusia dan daerah-daerah Balkan. Antara tahun 324 dan 330, Kaisar Constantinus I (berkuasa 306–337) mengganti nama ibukota Romawi timur, Byzantium menjadi Konstantinopel ("Kota Konstantinus") atau disebut juga Nova Roma ("Roma Baru"). Di bawah kaisar Theodosius II (berkuasa 379-395), Kristen  menjadi agama negara resmi kekaisaran sedangkan agama lainnya seperti politeisme Romawi dilarang.

Periode akhir peralihan dimulai pada akhir pemerintahan Kaisar Heraclius (berkuasa 610–641) ketika dia sepenuhnya mengubah kekaisaran dengan mereformasi pasukan dan pemerintahan dengan memperkenalkan sistem theme. Peralihan ini juga dipermudah oleh fakta bahwa pada masa Heraclius dan para penerus terdekatnya, banyak wilayah non-Yunani di Timur Tengah dan Afrika Utara yang telah direbut oleh Kekhalifahan Arab yang sedang berkembang, dan Kekaisaran Bizantium hanya meliputi wilayah yang sebagian besar dihuni oleh penutur bahasa Yunani. Maka dari itu pada masa kini Byzantium dibedakan dari peradaban Romawi kuno berdasarkan kebudayaannya yang lebih mengarah pada kebudayaan Yunani alih-alih Latin, dan ditandai oleh Kristen Ortodoks sebagai agama negara setelah tahun 380 M. Negeri ini pernah menjadi negara terkuat di Eropa, meskipun terus mengalami kemunduran, terutama pada masa Peperangan Romawi-Persia dan Romawi Timur-Arab. Kekaisaran ini direstorasi pada masa Dinasti Makedonia, bangkit sebagai kekuatan besar di Mediterania Timur pada akhir abad ke-10, dan mampu menyaingi Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah tahun 1071, sebagian besar Asia Kecil direbut oleh Turki Seljuk.

Restorasi Komnenos berhasil memperkuat kembali dominasi Romawi timur pada abad ke-12, tetapi setelah kematian Andronikos I Komnenos dan berakhirnya Dinasti Komnenos pada akhir abad ke-12, kekaisaran kembali mengalami kemunduran. Romawi Timur semakin terguncang pada masa Perang Salib Keempat tahun 1204, ketika kekaisaran ini dibubarkan secara paksa dan dipisah menjadi kerajaan-kerajaan Yunani dan Latin Byzantium yang saling berseteru. Kekaisaran berhasil didirikan kembali di bawah pimpinan kaisar-kaisar Palaiologos  setelah pasukan Yunani Byzantium dari Nikaia berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261. Akan tetapi perang saudara pada abad ke-14, ditambah dengan direbutnya perdagangan oleh Republik Italia, terus melemahkan kekuatan kekaisaran. Sisa wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah dalam Peperangan Romawi Timur - Utsmaniyah. Akhirnya, Konstantinopel berhasil direbut oleh Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453, menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur, meskipun beberapa monarki Yunani tetap menguasai sejumlah wilayah bekas milik Kekaisaran Bizantium selama beberapa tahun, hingga takluknya Mystras pada 1460, Trebizond pada 1461, dan Monemvasia pada 1473.

Penyebaran Agama Kristen di Romawi

Pada awal perkembanganya, Agama Nasrani tidak seperti agama-agama penyembahan dewa-dewa yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai ciri-ciri budaya suatu bangsa. Agama Kristen secara aktif mempertobatkan mereka yang belum percaya kepada Tuhan. Agama Kristen bermula dari Timur Tengah dan menyebar hingga ke Yunani dan Mesir. Para utusan Injil Kristen terutama murid Yesus, Petrus (?-67 Masehi), perintis penyebaran agama Kristen, bersama-sama dgn Saulus dari Tarsus (5-67 Masehi), kini dikenal sebagai Paulus, memberitakan agama yang baru itu ke seluruh wilayah Kekaisaran dan bahkan sampai ke Roma. Pada awalnya, kedatangan agama baru ini bisa ditoleransi oleh orang Romawi namun pada perkembangannya malah banyak mendapat tekanan dari pemerintah karena agama ini dianggap menyalahi kepercayaan setempat yang punya banyak dewa atau disebut polytheisme sedangkan agama nasrani lebih menjurus ke monotheisme.

Hingga suatu ketika, keadaan ini berubah ketika Kaisar Constantinus (280-337 Masehi), yang memeluk agama Kristen, berkuasa. Di bawah kepemimpinannya, agama yang awalnya ditentang ini, mulai diterima dan bahkan dikembangkan. Bahkan, ia sempat menjadi penengah dalam sebuah perselisihan serius mengenai doktrin antara golongan barat dan timur dalam Gereja. Ia mengundang para uskup yang mewakili kedua golongan itu untuk menghadiri sebuah Konsili Nicea tahun 325 Masehi. Di sana perbedaan di antara mereka diselesaikan. Pengakuan Konsili Nicea, yang naskahnya dibuat pada konferensi tersebut, menetapkan keyakinan-keyakinan Kristen yang mendasar dan dapat disepakati  oleh kedua golongan.

Pada perkembangan selanjutnya ajaran Agama Nasrani mampu berkembang cukup pesat pada golongan masyarakat bawah yang pada perkembangan selanjutnya para penguasa juga mulai memeluk agama ini. Ini tidak lain juga merupakan imbas dari kekacauan yang terjadi di Kekaisaran Roma yang memicu tumbuhnya keinginan untuk memilih agama yang lebih baik dari agama yang dianut mereka sebelumnya sebagai pegangan hidup. Masyarakat Romawi sudah tidak percaya lagi pada dewa yang mereka sembah karena mereka sudah punya anggapan bahwa dewa-dewa tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka. namun pada saat itulah Agama Nasrani berkembang pesat tetapi sudah kehilangan bentuk aslinya. Kini justru Romawi lah yang mempengaruhi agama tersebut. Pengaruh tersebut adalah adanya suatu organisasi yang memicu munculnya susunan organisasi gereja, dengan posisi tertinggi yaitu Paus. Gereja menjelma menjadi suatu negara tersendiri, dengan istana Paus di Vatikan yang menjadi pusat agama Nasrani. Segala kekuasaan dalam gereja berasal dari pusat yang menjadikan Paus menjadi pemimpin tertinggi gereja yang tidak hanya mengurus masalah kerohanian saja tetapi juga sudah lebih ke politik.

Suatu jemaat Nasrani mengangkat seorang Presbyter. Kemudian untuk kota diangkat seorang Patriarch sehingga pada tahun 400 M patriarch-patriarch tersebut mengakui kekuasaan Vatikan dan tunduk terhadap Paus, sementara Imam-imam gereja dalam suatu muktamar gereja menetapkan ajaran agama Nasrani hingga kepada hal-hal yang kecil dan khusus. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk suatu hierarki gereja yang kokoh dengan Roma sebagai pusatnya. Dimana di pucuk pimpinan ada Paus dibawahnya dan ada Kardinal, kemudian biskop pertama (arts bisschop), diikuti oleh biskop, pastur dan apellon masing-masing bertanggung jawab pada orang yang ada di atasnya. Dalam organisasi gereja tersebut terlihat benar tradisi pemerintahan Romawi sebagai pengaruhnya. Perkembangan agama Kristen yang begitu pesat ternyata menimbulkan banyak masalah baru, diantaranya yaitu banyak orang yang masuk Kristen hanya untuk menanamkan pengaruh di komunitas-komunitas Kristen tersebut, sehingga banyak orang yang masuk Kristen hanya ikut-ikutan saja tidak berdasarkan hati nurani. Melihat gejala sosial tersebut para pemeluk agama Kristen yang puritan sangat prihatin sehingga mereka mengundurkan diri dari dunia ramai dan menyepi ditempat-tempat seperti hutan, gunung, dan padang pasir sebagai pertapa. Hidup para pertapa itu serba sulit, namun mereka punya pengikut yang banyak, bahkan beberapa diantara mereka melakukan askekitisme yang cukup ekstrim. Di antara para pertapa yang terkenal itu adalah Santo Anthonius dari Mesir, dan Santo Simean Stylitus.

Namun cara hidup di atas dipandang oleh orang kebanyakan sebagai hal yang terlalu sulit untuk dilakukan sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul gaya pertapaan baru yang diperkenalkan oleh Santo Pachomius. Cara baru ini adalah tetap bertapa dan menyendiri tetapi masih diharuskan untuk bekerja, berdoa, dan membanca Injil bersama-sama dengan sesama pertapa. Ini disebabkan karena dorongan alamiah seorang manusia untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan manusia lain. Tidak heran bila banyak pemeluk agama Kristen yang menerima ajaran ini dan beribu-ribu orang di Mesir hulu mengikuti tata cara Pachomius ini. Tetapi pada perkembangan selanjutnya muncul lagi revolusi sistem pertapaan tapi sistem ini lebih mirip atau lebih baik disebut sistem kebiaraan. Pencetus cara baru ini adalah Santo Dasil yang menyebutkan bahwa seorang pertapa seharusnya orang yang hidup dilingkungan keagamaan, hidup bersama dalam suatu lingkungan peribadatan dilakukan juga bimbingan terhadap pembacaan Injil. Dengan cara ini muncul biara-biara yang fungsinya sebagai tempat peribadatan umat Nasrani. Umat Nasrani sendiri memiliki seorang rasul yang bernama Yohannes yang meninggal sekitar tahun 101 M, dan dengan kematiannya ini menandai bahwa telah berakhir zaman apostolik (zaman rasul-rasul) kemudian muncul bapa-bapa apolistik yang dianggap menerima perintah khusus dari para rasul. 

        Diantara para bapa apolistik itu yang sangat terkenal adalah St Clement, St Ignatius, dan St Polycarpus. Setelah zaman para bapa apostolik, munculah para bapa gereja. Biasanya mereka adalah orang berwatak mulia dan berdisiplin tinggi. Karya-karya mereka lazim disebut patristik yang sangat berpengaruh pada Eropa abad pertengahan dan modern. Beberapa bapa gereja tersebut adalah Uskup Eusebius, St Ambrosius, St Jeremius, dan St Agustinus. Karya Eusebius yang paling terkenal adalah sejarah gereja yang menjadi acuan bagi karya-karya sejarah perkembangannya gereja oleh generasi selanjutnya. St Ambrosius yang dikenal sebagai Uskup Milan memperkenalkan hymne liturgi ke gereja. St Jeremies menciptakan karya yang sangat penting bagi gereja. Karya tersebut adalah terjemahan kitab perjanjian lama dan baru ke bahasa Latin. St Agustinus adalah penulis dan pemikir terbesar di kalangan gereja Kristen di Eropa. Karya tersebut diantarannya adalah Confessions (pengakuan), De Civitas dei, atau The City of God (Kota Tuhan). Dengan perkembangan itulah agama Kristen berkembang dengan pesat didataran Eropa hingga sekarang.

Sumber:
The History of The Decline and Fall of The Roman Empires, karangan Edward Gibbon.
A Short History of Civilization, karangan Henry Lucas.
www.historyguide.org