Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat
dan Timur
Kekaisaran
Romawi Barat, Civis Romanus Sum
(artinya: Saya Orang Romawi) adalah kalimat yang dipakai oleh Orang Romawi dan
menunjukkan kebanggaan orang-orang Romawi pada imperiumnya di masa puncak
kejayaannya. Kegemilangan peradaban Romawi menjadikan Eropa sebagai cahaya
dunia masa lampau. Kekaisaran Imperium Roma telah menguasai daratan Eropa barat
dan Timur Dekat selama hampir 1000 tahun. Ini tidak lepas dari kuatnya Pax
Romana dan kontrol daerah yang kuat, tetapi memasuki tahun 180 M, Pax Romana
yang telah memperkuat Imperium Roma, mulai mengalami kemunduran dengan ditandai
meninggalnya Kaisar Marcus Aurelius. Penggantinya yang tidak lain adalah
anaknya yang bernama Commodus (180-193 M) tidak mampu mengendalikan
pemerintahan dengan baik. Hal ini dikarenakan Commodus tidak mempunyai bakat
apapun selain pacuan kereta, perang, dan perkelahian gladiator. Kecintaannya
pada olahraga membuat prestise dan kewibawaan pemerintahan menurun drastis,
disamping itu karena dia tidak begitu mempedulikan keselamatan pribadi membuat
Commodus mati karena terbunuh.
Seperti
juga Commodus, raja-raja berkuasa selanjutnya juga merupakan kaisar-kaisar yang
lemah. Sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul suatu zaman yang disebut
dengan zaman anarki militer (235-284 M). Zaman ini merupakan zaman yang penuh
dengan konflik intern antara faksi-faksi militer sehingga menyebabkan
stabilitas dan efisien pemerintahan hilang sehingga tidak heran bila dalam
kurun waktu setengah abad terjadi hampir dua lusin pergantian kaisar dan yang
mencengangkan adalah hanya satu kaisar yang meninggal secara wajar. Sedangkan
lainnya mati dalam peperangan melawan sekutu yang memberontak atau dibunuh oleh
tentaranya sendiri. Anarki militer seperti yang dijelaskan di atas akan
menjadikan keruntuhan total yang singkat jika tidak ada seorang kaisar kuat
yang mampu menghentikannya. Kaisar kuat tersebut adalah Diacletianus (284-305
M) seorang veteran tentara. Ia mulai melakukan berbagai perubahan penting yang
salah satu diantaranya adalah mensentralisasikan kekuasaan ke pusat yang
sistemnya mirip prinsip oriental tradisional. Sistem pemerintah model tersebut
juga dipraktikan oleh pengganti-penggantinya seperti Galerius (305-311 M) dan
Constantine (306-337 M). Tetapi pada masa itu terjadi berbagai kebingungan
karena kacaunya berbagai pertimbangan politik.
Diacletianus
dan penerusnya tidak menghormati sistem republik yang dipraktekan oleh Augustus
dan kaisar-kaisar sebelumnya. Mereka menghapuskan segala hak otonomi daerah dan
memberikan kekuasaan absolut kepada gubernur-gubernur terhadap urusan-urusan lokal.
Diocletanius juga membuat suatu badan yang bernama keuskupan yang menjadi
lembaga perantara antara provinsi dengan pusat. Ia juga membagi kekaisaran
menjadi 2 yaitu barat dan timur yang masing-masing mencakup beberapa keuskupan.
Diocletianus memindahkan ibukota kekaisaran belahan barat dari Roma ke Milan
yang terletak di Italia Utara. Dia memilih Milan karena kota tersebut jauh dari
intrik-intrik politik yang saling menjatuhkan seperti di Roma. Wilayah ini juga
dekat perbatasan dimana ia berusaha untuk menumpas kaum barbar yang ada disana.
Kota Roma peranannya menjadi berkurang karena banyak penduduknya yang pindah
dan banyak juga gedung yang rusak karena tidak terawat. Sedangkan Constantine
menetapkan ibukota kekaisaran Romawi Timur di Byzantium yang kemudian ia rubah
menjadi Konstantinopel.
Pembagian
ini memiliki arti yang cukup penting karena pembagian ini didasarkan pada
persamaan bahasa. Di Romawi Barat penduduknya menggunakan bahasa latin
sedangkan di Timur menggunakan bahasa Yunani. Sehingga tidak heran bila
pembagian ini mulai menggerogoti persatuan kekaisaran Romawi. Hal inilah yang
nantinya menjadi jurang pemisah antara peradaban Eropa Barat dan Selatan yang
lebih condong ke Romawi, dan peradaban Greco Oriental yang tersebar di Rusia
dan daerah-daerah Balkan. Untuk memperkuat pasukannya Diacletionus tidak
mengizinkan para pemalas dan pembunuh masuk dalam legiun ketentaraan sehingga
ia lebih suka menggunakan tentara bayaran yang terdiri dari orang asing yaitu
orang-orang Jerman, jadi ia menghapuskan kebiasaan merekrut warga negara untuk
menjadi tentara. Untuk menunjukkan kewibawaan raja, Diacletionus menggunakan
konsep Persia yaitu mendudukkan raja sebagai seorang dewa, jubahnya yang
dilapiasi emas mununjukkan wibawanya yang begitu tinggi dihadapan para dewa di
bumi dan langit. Para pejabat juga memperoleh gelar-gelar yang agung seperti
pejabat keuangan kini bergelar Pangeran yang mendapat anugerah suci dan dewan
negara menjadi Dewan suci.
Diocletionus
juga mencoba menyelamatkan perekonomian negara tetapi hal tersebut sia-sia.
Nilai mata uang menurun drastis karena kaisar-kaisar pendahulunya menurunkan
nilai pembuatan uang logam yakni mengurangi kuantitas logam mulia pada
koin-koin itu. Dalam waktu singkat ia berusaha menstabilkan nilai logam dan
kemudian kembali kepada praktek pengurangan nilai seperti sebelumnya, tetapi
hasilnya sangat lain dari harapan karena nilai-nilai mata uang romawi merosot
tajam dan harga barang-barang naik secara bersamaan usaha Diocletionus untuk
mengendalikan inflasi dengan melakukan kontrol-kontrolnya atas harga yang
menimbulkan munculnya pasar gelap dan kerusuhan-kerusuhan di kalangan para
penjual dan pembeli.
Diocletianus
berusaha untuk mengatasi keadaan krisis finansial dengan menetapkan pajak yang
tinggi kepada penduduk. Pajak-pajak tersebut ditarik dewan kota praja dan
anggota curia. Apabila pajak tersebut tidak memenuhi ketentuan maka dewan kota
praja dan anggota curia harus menambahkannya. Sehingga memicu bencana besar
yang disebut Katastrofic, dimana banyak anggota curia dan dewan kota praja yang
mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi pajak yang harus disetorkan
kepada pemerintah. Dalam mengatasi masalah ini para kaisar penerus Diocletionus
memaksa para curia dan dewan kota praja agar tetap menduduki jabatannya dan
menetapkan bahwa jabatan tersebut turun temurun sehingga pada waktu itu jabatan
curia yang sebelumnya dianggap sebagai kedudukan terhormat kini menjadi beban
yang amat berat.
Diocletianus
dan para penerusnya melakukan hal serupa pada kelompok sosial lain yang
akibatnya juga buruk misalnya kaum petani yang dipaksa untuk menanam gandum
sebagai bahan pokok pembuatan roti yang nantinya akan disuplai ke pemerintah
untuk dibagikan secara cuma-cuma di Roma seperti kasus sebelumnya, pemerintah juga
menerapkan para staf kerajaan mereka ditetapkan secara turun temurun.
Diocletianus dan para penerusnya cenderung hendak menegakkan suatu sistem
kasta. seseorang boleh melakukan pekerjaan yang sama sepanjang hidupnya,
anaknya harus meneruskan pekerjaan yang sama, hingga generasi demi generasi
selanjutnya. Disamping hal-hal diatas, ketertarikan tentara pada uang juga
memicu runtuhnya Imperium Roma. Ini dikarenakan para tentara telah mengabaikan
tugasnya untuk menjaga kaisar dan lebih mementingkan kebutuhan uang beserta
materil.
Keadaan
ini menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik internal yang mulai menggerogoti
kestabilan pemerintahan dan dalam keadaan serba kacau inilah orang-orang Barbar
(dalam pandangan masyarakat Romawi dan Yunani), yang sudah sejak lama menghuni
batas-batas Romawi di utara Eropa yang terdiri dari suku bangsa Goth, Vandal,
Hunt, Ostrogath, Visigoth, Slavia, dan Gaul mengetahui keadaan Roma yang sudah
lemah dan akhirnya mereka menyerbu masuk ke jantung kekaisaran Romawi. Kaisar
Romawi terakhir, Romulus Augustus, diturunkan oleh pemimpin suku-suku barbar
tersebut yang bernama Odoacer pada 476 M. Akhirnya setelah ditaklukkan, segala
lambang kejayaan Romawi di Eropa, hancur. Pusat pemerintahan yang indah dengan
kolom-kolom yang megah, arena koloseum raksasa yang bisa menampung puluhan ribu
penonton, dan perpustakaan-perpustakaan besar yang berisi
pengetahuan-pengetahuan hebat sepanjang sejarah, hanya tinggal kenangan.
Buku-buku karya filusuf dan pemikir paling jenius pun tidak luput dari pemusnahan-dibakar
menjadi abu.
Kekaisaran
Romawi Timur adalah istilah yang digunakan oleh sejarawan modern untuk menyebut
bagian Kekaisaran Romawi yang didominasi penutur bahasa Yunani dan berpusat di
Konstantinopel pada masa Antikuitas Akhir dan Abad Pertengahan dari negaranya
yang lebih awal pada masa Klasik. Negara ini disebut juga Kekaisaran Bizantium
terutama dalam konteks Abad Pertengahan, sementara Romawi Timur biasanya
digunakan dalam konteks terkait masa ketika Romawi masih dikelola dengan pusat
politik timur dan barat yang terpisah. Penduduk dan negara-negara tetangganya
menyebut kekaisaran ini sebagai Kekaisaran Romawi (bahasa Yunani: Βασιλεία Ῥωμαίων,
Basileia Rhōmaiōn; bahasa Latin: Imperium Romanum) atau Romania (Ῥωμανία).
Setelah Kekaisaran Romawi Barat mengalami perpecahan dan keruntuhan pada abad
ke-5, bagian timurnya masih terus berkembang, bertahan hingga kira-kira seribu
tahun lagi sampai akhirnya ditaklukan oleh Turki Utsmaniyah pada 1453. Selama
sebagian besar masa keberadaannya, negara ini merupakan kekuatan ekonomi,
budaya, dan militer yang paling berpengaruh di Eropa.
Pada
tahun 285 M, Kaisar Diocletianus (berkuasa. 284–305) membagi pemerintahan
Kekaisaran Romawi menjadi paruh timur dan barat. Pembagian ini didasarkan pada
persamaan bahasa. Di Romawi Barat penduduknya menggunakan bahasa latin
sedangkan di Timur menggunakan bahasa Yunani. Hal inilah yang nantinya menjadi
jurang pemisah antara peradaban Eropa Barat dan Selatan yang lebih condong ke
Romawi, dan peradaban Greco Oriental yang tersebar di Rusia dan daerah-daerah
Balkan. Antara tahun 324 dan 330, Kaisar Constantinus I (berkuasa 306–337)
mengganti nama ibukota Romawi timur, Byzantium menjadi Konstantinopel
("Kota Konstantinus") atau disebut juga Nova Roma ("Roma
Baru"). Di bawah kaisar Theodosius II (berkuasa 379-395), Kristen menjadi agama negara resmi kekaisaran
sedangkan agama lainnya seperti politeisme Romawi dilarang.
Periode
akhir peralihan dimulai pada akhir pemerintahan Kaisar Heraclius (berkuasa
610–641) ketika dia sepenuhnya mengubah kekaisaran dengan mereformasi pasukan
dan pemerintahan dengan memperkenalkan sistem theme. Peralihan ini juga
dipermudah oleh fakta bahwa pada masa Heraclius dan para penerus terdekatnya,
banyak wilayah non-Yunani di Timur Tengah dan Afrika Utara yang telah direbut
oleh Kekhalifahan Arab yang sedang berkembang, dan Kekaisaran Bizantium hanya
meliputi wilayah yang sebagian besar dihuni oleh penutur bahasa Yunani. Maka
dari itu pada masa kini Byzantium dibedakan dari peradaban Romawi kuno
berdasarkan kebudayaannya yang lebih mengarah pada kebudayaan Yunani alih-alih
Latin, dan ditandai oleh Kristen Ortodoks sebagai agama negara setelah tahun
380 M. Negeri ini pernah menjadi negara terkuat di Eropa, meskipun terus
mengalami kemunduran, terutama pada masa Peperangan Romawi-Persia dan Romawi
Timur-Arab. Kekaisaran ini direstorasi pada masa Dinasti Makedonia, bangkit
sebagai kekuatan besar di Mediterania Timur pada akhir abad ke-10, dan mampu
menyaingi Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah tahun 1071, sebagian besar Asia Kecil
direbut oleh Turki Seljuk.
Restorasi
Komnenos berhasil memperkuat kembali dominasi Romawi timur pada abad ke-12,
tetapi setelah kematian Andronikos I Komnenos dan berakhirnya Dinasti Komnenos
pada akhir abad ke-12, kekaisaran kembali mengalami kemunduran. Romawi Timur
semakin terguncang pada masa Perang Salib Keempat tahun 1204, ketika kekaisaran
ini dibubarkan secara paksa dan dipisah menjadi kerajaan-kerajaan Yunani dan
Latin Byzantium yang saling berseteru. Kekaisaran berhasil didirikan kembali di
bawah pimpinan kaisar-kaisar Palaiologos
setelah pasukan Yunani Byzantium dari Nikaia berhasil merebut kembali
Konstantinopel pada 1261. Akan tetapi perang saudara pada abad ke-14, ditambah
dengan direbutnya perdagangan oleh Republik Italia, terus melemahkan kekuatan
kekaisaran. Sisa wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah dalam
Peperangan Romawi Timur - Utsmaniyah. Akhirnya, Konstantinopel berhasil direbut
oleh Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453, menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi
Timur, meskipun beberapa monarki Yunani tetap menguasai sejumlah wilayah bekas
milik Kekaisaran Bizantium selama beberapa tahun, hingga takluknya Mystras pada
1460, Trebizond pada 1461, dan Monemvasia pada 1473.
Penyebaran Agama Kristen di Romawi
Pada
awal perkembanganya, Agama Nasrani tidak seperti agama-agama penyembahan
dewa-dewa yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai ciri-ciri budaya
suatu bangsa. Agama Kristen secara aktif mempertobatkan mereka yang belum
percaya kepada Tuhan. Agama Kristen bermula dari Timur Tengah dan menyebar
hingga ke Yunani dan Mesir. Para utusan Injil Kristen terutama murid Yesus,
Petrus (?-67 Masehi), perintis penyebaran agama Kristen, bersama-sama dgn
Saulus dari Tarsus (5-67 Masehi), kini dikenal sebagai Paulus, memberitakan
agama yang baru itu ke seluruh wilayah Kekaisaran dan bahkan sampai ke Roma.
Pada awalnya, kedatangan agama baru ini bisa ditoleransi oleh orang Romawi
namun pada perkembangannya malah banyak mendapat tekanan dari pemerintah karena
agama ini dianggap menyalahi kepercayaan setempat yang punya banyak dewa atau
disebut polytheisme sedangkan agama nasrani lebih menjurus ke monotheisme.
Hingga
suatu ketika, keadaan ini berubah ketika Kaisar Constantinus (280-337 Masehi),
yang memeluk agama Kristen, berkuasa. Di bawah kepemimpinannya, agama yang
awalnya ditentang ini, mulai diterima dan bahkan dikembangkan. Bahkan, ia
sempat menjadi penengah dalam sebuah perselisihan serius mengenai doktrin
antara golongan barat dan timur dalam Gereja. Ia mengundang para uskup yang
mewakili kedua golongan itu untuk menghadiri sebuah Konsili Nicea tahun 325
Masehi. Di sana perbedaan di antara mereka diselesaikan. Pengakuan Konsili
Nicea, yang naskahnya dibuat pada konferensi tersebut, menetapkan
keyakinan-keyakinan Kristen yang mendasar dan dapat disepakati oleh kedua golongan.
Pada
perkembangan selanjutnya ajaran Agama Nasrani mampu berkembang cukup pesat pada
golongan masyarakat bawah yang pada perkembangan selanjutnya para penguasa juga
mulai memeluk agama ini. Ini tidak lain juga merupakan imbas dari kekacauan
yang terjadi di Kekaisaran Roma yang memicu tumbuhnya keinginan untuk memilih
agama yang lebih baik dari agama yang dianut mereka sebelumnya sebagai pegangan
hidup. Masyarakat Romawi sudah tidak percaya lagi pada dewa yang mereka sembah
karena mereka sudah punya anggapan bahwa dewa-dewa tersebut tidak mampu
menyelesaikan persoalan mereka. namun pada saat itulah Agama Nasrani berkembang
pesat tetapi sudah kehilangan bentuk aslinya. Kini justru Romawi lah yang mempengaruhi
agama tersebut. Pengaruh tersebut adalah adanya suatu organisasi yang memicu
munculnya susunan organisasi gereja, dengan posisi tertinggi yaitu Paus. Gereja
menjelma menjadi suatu negara tersendiri, dengan istana Paus di Vatikan yang
menjadi pusat agama Nasrani. Segala kekuasaan dalam gereja berasal dari pusat
yang menjadikan Paus menjadi pemimpin tertinggi gereja yang tidak hanya
mengurus masalah kerohanian saja tetapi juga sudah lebih ke politik.
Suatu
jemaat Nasrani mengangkat seorang Presbyter. Kemudian untuk kota diangkat
seorang Patriarch sehingga pada tahun 400 M patriarch-patriarch tersebut
mengakui kekuasaan Vatikan dan tunduk terhadap Paus, sementara Imam-imam gereja
dalam suatu muktamar gereja menetapkan ajaran agama Nasrani hingga kepada
hal-hal yang kecil dan khusus. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk suatu
hierarki gereja yang kokoh dengan Roma sebagai pusatnya. Dimana di pucuk
pimpinan ada Paus dibawahnya dan ada Kardinal, kemudian biskop pertama (arts
bisschop), diikuti oleh biskop, pastur dan apellon masing-masing bertanggung
jawab pada orang yang ada di atasnya. Dalam organisasi gereja tersebut terlihat
benar tradisi pemerintahan Romawi sebagai pengaruhnya. Perkembangan agama
Kristen yang begitu pesat ternyata menimbulkan banyak masalah baru, diantaranya
yaitu banyak orang yang masuk Kristen hanya untuk menanamkan pengaruh di
komunitas-komunitas Kristen tersebut, sehingga banyak orang yang masuk Kristen
hanya ikut-ikutan saja tidak berdasarkan hati nurani. Melihat gejala sosial
tersebut para pemeluk agama Kristen yang puritan sangat prihatin sehingga
mereka mengundurkan diri dari dunia ramai dan menyepi ditempat-tempat seperti
hutan, gunung, dan padang pasir sebagai pertapa. Hidup para pertapa itu serba
sulit, namun mereka punya pengikut yang banyak, bahkan beberapa diantara mereka
melakukan askekitisme yang cukup ekstrim. Di antara para pertapa yang terkenal
itu adalah Santo Anthonius dari Mesir, dan Santo Simean Stylitus.
Namun
cara hidup di atas dipandang oleh orang kebanyakan sebagai hal yang terlalu
sulit untuk dilakukan sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul gaya
pertapaan baru yang diperkenalkan oleh Santo Pachomius. Cara baru ini adalah
tetap bertapa dan menyendiri tetapi masih diharuskan untuk bekerja, berdoa, dan
membanca Injil bersama-sama dengan sesama pertapa. Ini disebabkan karena
dorongan alamiah seorang manusia untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan
manusia lain. Tidak heran bila banyak pemeluk agama Kristen yang menerima
ajaran ini dan beribu-ribu orang di Mesir hulu mengikuti tata cara Pachomius
ini. Tetapi pada perkembangan selanjutnya muncul lagi revolusi sistem pertapaan
tapi sistem ini lebih mirip atau lebih baik disebut sistem kebiaraan. Pencetus
cara baru ini adalah Santo Dasil yang menyebutkan bahwa seorang pertapa
seharusnya orang yang hidup dilingkungan keagamaan, hidup bersama dalam suatu
lingkungan peribadatan dilakukan juga bimbingan terhadap pembacaan Injil.
Dengan cara ini muncul biara-biara yang fungsinya sebagai tempat peribadatan
umat Nasrani. Umat
Nasrani sendiri memiliki seorang rasul yang bernama Yohannes yang meninggal
sekitar tahun 101 M, dan dengan kematiannya ini menandai bahwa telah berakhir
zaman apostolik (zaman rasul-rasul) kemudian muncul bapa-bapa apolistik yang
dianggap menerima perintah khusus dari para rasul.
Diantara para bapa apolistik itu yang sangat terkenal adalah St Clement, St Ignatius, dan St Polycarpus. Setelah zaman para bapa apostolik, munculah para bapa gereja. Biasanya mereka adalah orang berwatak mulia dan berdisiplin tinggi. Karya-karya mereka lazim disebut patristik yang sangat berpengaruh pada Eropa abad pertengahan dan modern. Beberapa bapa gereja tersebut adalah Uskup Eusebius, St Ambrosius, St Jeremius, dan St Agustinus. Karya Eusebius yang paling terkenal adalah sejarah gereja yang menjadi acuan bagi karya-karya sejarah perkembangannya gereja oleh generasi selanjutnya. St Ambrosius yang dikenal sebagai Uskup Milan memperkenalkan hymne liturgi ke gereja. St Jeremies menciptakan karya yang sangat penting bagi gereja. Karya tersebut adalah terjemahan kitab perjanjian lama dan baru ke bahasa Latin. St Agustinus adalah penulis dan pemikir terbesar di kalangan gereja Kristen di Eropa. Karya tersebut diantarannya adalah Confessions (pengakuan), De Civitas dei, atau The City of God (Kota Tuhan). Dengan perkembangan itulah agama Kristen berkembang dengan pesat didataran Eropa hingga sekarang.
Diantara para bapa apolistik itu yang sangat terkenal adalah St Clement, St Ignatius, dan St Polycarpus. Setelah zaman para bapa apostolik, munculah para bapa gereja. Biasanya mereka adalah orang berwatak mulia dan berdisiplin tinggi. Karya-karya mereka lazim disebut patristik yang sangat berpengaruh pada Eropa abad pertengahan dan modern. Beberapa bapa gereja tersebut adalah Uskup Eusebius, St Ambrosius, St Jeremius, dan St Agustinus. Karya Eusebius yang paling terkenal adalah sejarah gereja yang menjadi acuan bagi karya-karya sejarah perkembangannya gereja oleh generasi selanjutnya. St Ambrosius yang dikenal sebagai Uskup Milan memperkenalkan hymne liturgi ke gereja. St Jeremies menciptakan karya yang sangat penting bagi gereja. Karya tersebut adalah terjemahan kitab perjanjian lama dan baru ke bahasa Latin. St Agustinus adalah penulis dan pemikir terbesar di kalangan gereja Kristen di Eropa. Karya tersebut diantarannya adalah Confessions (pengakuan), De Civitas dei, atau The City of God (Kota Tuhan). Dengan perkembangan itulah agama Kristen berkembang dengan pesat didataran Eropa hingga sekarang.
Sumber:
The History of The
Decline and Fall of The Roman Empires, karangan Edward Gibbon.
A Short History of
Civilization, karangan Henry Lucas.
www.historyguide.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar