Senin, 26 November 2018

Lawrence of Arabia



Dari sudut pandang Turki, Lawrence adalah seorang mata-mata Inggris yang diutus untuk menghasut bangsa Arab agar memberontak kepada kesultanan Turki saat itu. Inggris, Perancis, dan Arab kala itu sama-sama memiliki kepentingan dengan hancurnya kesultanan Turki. Inggris dan Prancis ingin memperluas daerah pendudukannya sekaligus menghancurkan satu-satunya kekuatan Islam yang menentang penjajahan yang mereka lakukan, sedangkan bangsa Arab ingin kembali menguasai seluruh jazirah Arab, khususnya daerah Hijaz yang sempat dikuasai oleh Dinasti Saud I yang berpaham Wahabi pada awal abad IX. Berdirinya kerajaan Saudi dengan bantuan Inggris bukanlah sebuah isu atau sebuah fitnah, itu adalah sebuah bukti sejarah yang memiliki penafsiran yang berbeda-beda bergantung pada siapa yang menilai, dan berada di pihak mana.

Craig Unger, mantan deputi direktur New York Observer di dalam karyanya yang sangat berani berjudul “Dinasty Bush Dinasty Saud” (2004) memaparkan kelakuan beberapa oknum di dalam tubuh kerajaan negeri itu, bahkan di antaranya termasuk para pangeran dari keluarga kerajaan. “Pangeran Bandar yang dikenal sebagai ‘Saudi Gatsby’ dengan ciri khas janggut dan jas rapih, adalah anggota kerajaan Dinasti Saudi yang bergaya hidup Barat, berada di kalangan jetset, dan belajar di Barat. Bandar selalu mengadakan jamuan makan mewah di rumahnya yang megah di seluruh dunia. Kapan pun ia bisa pergi dengan aman dari Arab Saudi dan dengan entengnya melabrak batas-batas aturan seorang Muslim. Ia biasa minum Brandy dan menghisap cerutu Cohiba,” tulis Unger. Bandar, tambah Unger, merupakan contoh perilaku dan gaya hidup sejumlah oknum syaikh yang berada di lingkungan kerajaan Arab Saudi. Di mulut, para syaikh-syaikh itu biasa mencaci maki Zionis-Israel dan Amerika, tetapi mata dunia melihat banyak di antara mereka yang berkawan akrab dan bersekutu dengannya. Siapa pun tak kan bisa menyangkal bahwa Kerajaan Saudi amat dekat—jika tidak bisa dikatakan sekutu terdekat—dengan Amerika Serikat.

Kebijakan-kebijakan pro-barat yang diambil pihak Kerajaan Saudi sesungguhnya tidak mengejutkan bagi yang tahu latar belakang berdirinya Kerajaan Saudi Arabia itu sendiri. Dalam sebuah film yang dirilis tahun 1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia’ dikisahkan tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris bernama lengkap Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby (jenderal ini ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam Salahuddin Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, “Hai Saladin, hari ini telah kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan kemenangan kami!”). Dalam film ini, Lawrence digambarkan menyuarakan persatuan kepada bangsa Arab yang saat itu masih terpecah belah. Kehidupan mereka masih berputar antara gurun pasir dan sumur, bahkan peperangan antar suku kadang masih terjadi. Lawrence datang memberikan kesadaran kepada mereka bahwa mereka adalah bangsa yang bersatu, bukan lagi bangsa yang terpecah belah oleh suku-suku. Untuk memecah belah dunia Islam dan melemahkannya, Lawrence menekankah bahwa Nasionalisme lebih penting daripada Ukhuwah Islamiyah.

Film ini memang agak kontroversial, ada yang membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produsernya yg bernama Sam Spiegel mengaku bahwa film ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur dengan jujur tentang siapa yang berada di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia. Jazirah Arab yg kala itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan umat Islam dunia terakhir yang pada masanya berhubungan erat dengan Kesultanan Aceh. Inggris yang kala itu berhasrat untuk menghancurkan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah sebagai simbol persatuan dan pemimpin dunia Islam, mengalami kesulitan untuk menghancurkannya melalui sebuah peperangan terbuka. Inggris pun berinisiatif untuk menggerogoti Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dari dalam, dengan menyusupkan salah seorang tentaranya yg bernama Lawrence. Dengan usaha yang keras, akhirnya Lawrence bisa menyatukan suku-suku Arab yg dipimpin oleh klan Saud dan meyakinkan mereka untuk melakukan pemberontakan (bughot) terhadap kedaulatan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah sebagai entitas pemimpin dunia Islam kala itu. Lawrence bersama pasukan Arab bersatu mulai melakukan pemberontakan dan berhasil menguasai kota `Aqabah, sebuah kota yang menjadi basis pertahanan laut bagi Kesultanan Turki. Dengan dikuasainya kota itu, maka terbukalah jalan bagi pasukan Inggris untuk lebih masuk ke dalam jantung pertahanan Kesultanan Turki. Tak lama setelah itu, pasukan Arab bersama pasukan Inggris berhasil menguasai kota Damaskus dan terus merongrong kedaulatan Turki Utsmaniyah hingga akhirnya Kekhalifahan Islam terakhir itu runtuh pada tahun 1924. 

       Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya “Lawrence of Arabia was a Zionist” seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme. Sejarah pun mencatat, hancurnya Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zonisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi penghancuran Kekhalifahan Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan dukungan yg diberikan terhadap pemberontakan Klan Saud melawan Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia, dan menghancurkannya dari dalam. Nantinya, pasca berhasil dipecah-belah, wilayah Palestina yg diduduki oleh Inggris diberikan secara cuma-cuma kepada bangsa Zionis-Yahudi, yang sekarang menjadi negara Israel.

      Sebagai penguasa Jazirah Arab dan Hijaz, Kerajaan Saudi Arabia seharusnya menjadi pemimpin bagi Dunia Islam dalam segala hal yang menyangkut keIslaman. Pemimpin dalam menyebarkan dakwah Islam, sekaligus pemimpin Dunia Islam dalam menghadapi serangan kaum kuffar yang terus-menerus melakukan serangan terhadap agama Allah dalam berbagai bentuk, baik dalam hal Al-Ghawz Al-Fikri (serangan pemikiran dan kebudayaan) maupun serangan Qital. Saudi Arabia seyogyanya menjadi pelindung bagi Muslim Palestina, Muslim Afghanistan, Muslim Irak, Muslim Pattani, Muslim Rohingya, Muslim Bosnia, Muslim Azebaijan, Muslim Yaman, dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Tapi yang terjadi dalam realitas sesungguhnya, mungkin masih jadi pertanyaan banyak pihak. Karena harapan itu masih jauh dari kenyataan. Bahkan di Yaman, dengan tragisnya krisis kemanusiaan yang terjadi di sana, Saudi tetap bersikukuh melanjutkan blokade dan penyerangan, tanpa memperdulikan jatuhnya korban dari pihak sipil, yg kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak. Selain film ‘Lawrence of Arabia’, ada beberapa buku yang bisa menggambarkan hal ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Antara lain:

1.      Wa’du Kissinger (Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Strategi AS Menguasai Timur Tengah, karya DR. Safar Al-Hawali—mantan Dekan Fakultas Akidah Universitas Ummul Quro Makkah, yang dipecat dan ditahan setelah menulis buku ini, yang edisi Indonesianya diterbitkan Jazera, 2005)

2.      Dinasti Bush Dinasti Saud, Hubungan Rahasia Antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Craig Unger, 2004, edisi Indonesianya diterbitkan oleh Diwan, 2006)

3.      Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (George Lenczowski, 1992)

4.      History oh the Arabs (Philip K. Hitti, 2006)

Sumber : eramuslim.com, Hasan, Fahmi. 2015. Lawrence of Arabia dan Objektivitas Catatan Sejarah. Jakarta : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar